Dalam dunia pekerjaan, orang-orang akan memandang bahwa orang yang mempunyai kecerdasan atau intelegensi lebih tinggi di atas rata-rata akan berhasil dan sukses. Keberhasilan ini dipandang dari cemerlangnya orang tersebut dalam memecahkan persoalan yang pelik yang berhubungan dengan dunia pekerjaan. Namun, masalah yang muncul menunjukkan bahwa terkadang ada orang yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata namun kesulitan dalam mengelola dan memahami diri sendiri. Kesulitan-kesulitan ini adalah salah satu indikasi bahwa orang tersebut kurang mengelola EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosinya.
Kecerdasan Emosi (EI/EQ) pertama kali dicetuskan oleh Andrew Goleman pada 2008. Definisinya merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengenali secara mendalam emosi pada dirinya dan diri orang lain, membedakan perasaan secara berbeda-beda, dan melabel-labelkannya secara tepat, serta menggunakan informasi dari emosi sebagai pedoman berpikir dan berperilaku. Pengertian di atas sudah menunjukkan pentingnya kecerdasan emosi bagi seseorang.
EQ-kecerdasanemosional

EQ

Penerapan kecerdasan emosi di tempat kerja maupun karir juga dapat mencerahkan dan menyukseskan jenjang karir di masa depan. Jika seseorang mampu menerapkannya, maka diprediksi ia akan mampu dalam mengimbangi kecerdasan (intelegensi) yang ia miliki. Kecerdasan emosi (EQ) merujuk pada kematangan emosi. Kematangan emosi sangat diperlukan di tempat kerja. Sebab, di tempat kerja individu akan bertemu dengan banyak pekerja lain. Pekerja lain ini memiliki kepribadian yang unik dan bermacam-macam.
Apabila seseorang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, namun tidak bisa mengimbangi dengan kematangan emosi, ia akan menjadi seorang yang kemungkinan besar egois dan mau menang sendiri. Seseorang yang egois dan mau menang sendiri tidak akan tahan dengan kritik dan tidak memperhatikan perasaan dari rekan kerja yang lain. Dengan adanya kematangan emosi, diharapkan seorang pekerja dapat memahami emosi yang ia rasakan ketika bekerja, juga emosi dari orang lain yang bekerja dengannya.

Seseorang dengan kemampuan EQ dikenal memiliki ketahanan kerja. Ketahanan kerja merujuk pada kemampuan seseorang untuk tetap berada dan melakukan pekerjaan yang ia lakukan sampai selesai. Misalnya, seorang pekerja lapangan yang merupakan supervisor yang baru dipromosikan mendapat proyek yang lumayan besar baginya.
Setelah terbiasa menjadi bawahan, ia harus menyelesaikan proyek yang diminta sampai selesai. Belum lagi jika ia harus menghadapi masalah, ia harus menyelesaikan atau bersikap pengecut. Ketahanan kerja yang baik berasal dari pengelolaan kecerdasan emosi yang baik pula. Orang-orang yang mampu mengelola kecerdasan emosinya (EQ) juga mempunyai kemampuan bersosialisasi yang baik. Kecerdasan emosi juga merujuk pada bagaimana seseorang dapat memahami perasaan dan emosi yang dirasakan oleh orang lain, tidak hanya perasaannya sendiri. Jika orang yang mampu mengelola kecerdasan emosinya mempunyai kemampuan bersosialisasi, ia akan dapat menyentuh semua kalangan di dalam tempat kerjanya. Hal ini akan membuat semua orang dan pekerja yang bekerja bersamanya akan merasa nyaman.
Singkatnya, orang yang mampu mengelola kemampuan sosialisasi dapat berdampak kepada semua orang untuk bekerja bersama dengannya dengan situasi yang nyaman. Situasi yang nyaman pada nantinya akan merujuk pada kesehatan mental di situasi kerja. Selain kemampuan memahami orang lain, seorang yang memiliki kemampuan dalam kecerdasan emosi mampu memahami dirinya sendiri. Hal ini merujuk pada kemampuan pengelolaan diri. Kemampuan pengelolaan diri sendiri ini sangat esensial sebab terkait pada interaksi individu dengan dirinya. Jika seorang hanya mampu memahami orang lain tanpa mau memahami dirinya sendiri, hal ini akan berbahaya bagi kesehatan emosi dan jiwanya. Hal ini juga merujuk pada ketenangan, kebijakan, serta keputusan yang ia ambil jika ia tidak mampu mengelola dirinya dengan baik.

Daftar gratis di Olymp Trade: